Maestro BK Indonesia

Maestro BK Indonesia
Prof. Dr. Prayitno, M.Sc.Ed, beliau merupakan maestro BK Indonesia. Beliau menghibahkan seluruh hidupnya untuk kemajuan BK, sehingga dapat kita nikmati dan tekuni ilmunya sampai saat ini.

Monday, June 18, 2012

instrumen tes dan non tes dalam BK


BAB I
PENDAHULUAN
            Fungsi utama instrument asesmen adalah untuk mengumpulkan data. Dalam berbagai keperluan ilmiah data merupakan bentuk jamak dari datum, yang mempunyai arti sebagai sejumlah keterangan atau informasi tentang sesuatau benda atau nonbenda. Informasi atau keterangan tersebut dapat berupa besaran, ukuran, angka, atau dapat pula berupa penjelasan deskriftif, uraian atau kualifikasi tentang sesuatu. Jadi data merupakan “potret” atau gambaran lengkap tentang sesuatu. Misalnya data intelegensi dapat dimaknai sebagai ukuran, angka, deskripsi atau kualifikasi tentang intelegensi seseorang. Demikian pula pengerytian dta pribadi berarti kumpulan tentang angka – angka, ukuran, besaran, deskripsi, dan kualifikasi tentang pribadi seseorang.
            Pemberian bimbingan akan efektif jika didasarkan pada data yang akurat. Birdie, menyatakan bahwa jika konselor ingin melakukan kegiatan bimbingan secara efektif atau melakukan kerja apa saja dengan siswa (klien), maka dia harus mengetahui segala sesuatu yang ada pada siswa (klien) nya tersebut[1]. Lebih banyak informasi yang diketahui tentang klien, maka dia akan dapat bekerja dengan lebih baik dengan kliennya.
            Data yang akurat hanya akan didapat jika dikumpulkan dengan menggunakan alat instrument yang tepat pula. Kadang – kadang guru bimbingan konseling punya dta yang banyak tentang seseorang, tetapi data tersebut dirasa tidak cukup, karena tidak sesuaidengan kebutuhan pemecahan masalahnya. Pada kondisi demikian, maka kedudukan instrument menjadi sangat penting. Disinilah fungsi pemahaman dari bimbingan diperlukan.
            Kedudukan data dalam bimbingan sangat sentral. Untuk itu guru bimbingan dan konseling perlu memahami betul data apa yang diperlukan untuk memecahkan suatu masalah atau melakukan suatu kegiatan bimbingan. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana data tersebut dapat dikumpulkan.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Instrument Bimbingan dan Konseling
            Dalam bimbingan konseling fungsi utama instrument terkait dengan pemahaman individu (klien). Instrument asesmen digunakan untuk mengumpulkan berbagai data informasi tentang siswa.
            Data tentang siswa dapat dibedakan menjadi data psikologis dan nonpsikologis. Data psikologis adalah data yang terkait dengan aspek – aspek psikologis dari siswa seperti data tentang intelegensi (kecerdasan), dan data tentang aspek – aspek kepribadian. Sedangkan data nonpsikologis adalah data yang terkait dengan prestasi yang diperoleh, dta tentang diri (dat pribadi), dan data tentang lingkungan.
Untuk mengungkap atau mengumpulkan kedua jenis data tersebut dapat dilakukan dengan dua pendekatan besar, yaitu pendekatan tes dan pendekatan non tes.
Tes merupakan himpunan pertanyaan yang harus dijawab, atau pernyataan – pernyataan yang harus dipilih atau ditanggapi, atau tugas – tugas yang harus dilakukan oleh orang yang dites (testi) dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek perilaku atau memperoleh informasi tentang trait atau atribut dari orang yang dites[2]. Dalam setiap pertanyaan, peryataan, atau tugas yang diberikan tersebut terdapat jawaban atau alternative yang dianggap benar. Dengan demikian, maka setiap tes akan menuntut respons atau jawaban dari orang yang dites (testee) yang dapat disimpulkan sebagi trait dari subjek yang sedang dicari informasinya. Dari uraian ini tersirat bahwa tes berfungsi sebagai alat (instrument) ataupun sebagai cara pengungkap informasi atau pengumpul data tentang siswa.
Istilah tes tidak hanya digunakan dalam bidang pendidikan, tetapi dlam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang kesehatan ada istilah tes urine, dlam bidang pekerjaan ada tes penempatan, dalam bidang psikologi ada tes intelgensi, tes kepribadian, dan sebagainya. Dalam bidang pendidikan kita mengenal istilah tes hasil belajar, tes diagnostic, ujian tengah semester, ujian akhir semester, dan lain – lain.
Dalam tes hasil belajar , yang hendak diukur atau dicari informasinya ialah tingkat kemampuan sesorang siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang telah diajarkan padanya. Dalam hal ini perlu dibedakan antara prestasi hasil belajar (achievement) dan hasil belajar (learning outcome). Hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak seseorang.
Tes untuk mengukur prestasi belajar (achievement test) ataupun untuk mengungkap aspek – aspek psikologis, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tes kemampuan (power test) dan tes kecepatan (speed test).
Power test. Prinsip utama power test adlah tidak adanya pembatasan waktuyang ketat bagi testi untuk mengerjakan pekerjaan (test) tersebut. Menurut prinsip ini jika waktu pengerjaan tes tidak dibatasi secara ketat, mnaka hasil tes akan benar – benar mengungkap kemampuan testi. Pembatasan waktu dalam mengerjakan tes, diperkirakan akan menyebabkan testi tidak dapat menunujukkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Namun demikian, dalam penyelenggaraan tes yang diberikan secara klasikal tidaklah efisien jika testi yang lambat pun ditunggu sekehendak dia. Untuk mengatasi hal ini, para ahli berpendapatbahwa suatau tes dapat diuanggap sebagai power test, jika sebagian orang yang di tes (testee) dapat menyelesaikannya dalam waktu yang sudah ditentukan atas dasar kemampuan kebanyakan orang.
Speed test. Dalam tes ini yang diukur ialah kecepatan di dalam memikirkan atau mengerjakan suatu persoalan. Itulah sebabnya tes ini disebut tes kecepatan. Semakain sedikit waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu tugas (biasanya tugasnya relative mudah), maka semakin baiklah prestasi atau kemampuan seseorang. Biasanya model ini lebih banyakdigunakan dalam tes bakat atau tes kecerdasan. Tes prestasi belajar yang disusun oleh guru, pada umumnya tes kemampuan buakan tes kecepatan.
Selain dengan cara tes, alat atau cara pengumpulan data dapat pula dilakukan dengan cara non tes yang dilaksanakan dalam bentuk wawancara, observasi, angket, atau inventori[3]. Perbedaan utama antara tes dan non tes terletak alam tiga hal. Pertama, bahwa pada tes ada jawaban benar dan slah, sedangkan pada nontes jawaban benar dan salah sangat kondisional. Misalnya jawaban atas pertanyaan “berapa jumlah saudara kamu? Apa pekerjaan orangtua kamu?” akan sangat bervariasi, dan semuanya bisa betul. Kedua, adalah hasil pada nontes lebih bersifat kualitatif, sedangkan tes lebih kuantitatif (walaupun akhirnya dapat dikualitatifkan). Ketiga, pelaksana tes adalah orang yang professional, sedangkan nontes tidak selamnya harus orang professional. Dalam dunia pendidikan cara nontes sering digunakan untuk mengungkap hasil belajar (learning outcome), yang banyk menyangkut aspek afektif, dan pada prestasi belajar (learning achievement), aspek kognitif dan psikomotor[4].
Dilihat dari bentuknya, secara umum data yang diperoleh dapat dibedakan  menjadi dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuatitatif diperoleh dar hasil pengukuran yang wujudnya berupa angka –angka atau data kualifikasi yang diangkakan (skor). Data kualitatif diperoleh dari hasil penilaian yang berupa kualifikasi, kata – kata atau kalimat, seperti cerdas, baik, buruk, banyak, sedikit dan seterusnya.
Data kuantitatif dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu data diskrit dan data kontinum. Data diskrit adalah data yang diperoleh dari hasil menghitung atau membiulang. Data diskrit sering juga disebut data nominal. Data kontinum secra hierarki dapat dikelompokkan menjadi data ordianal, data interval, dan data rasio. Keempat jenis data ini sifatnya berjenjang (berskala).
Dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah dapat dibedakan menjadi empat kelompok data, yaitu dta pribadi, data kelompok, data umum, dan data khusus.
Data pribadi adalah data atau keterangan yang menyangkut diri masing – masing siswa secara individual (perorangan). Himpuanan data pribadi dilakukan secara terpisah untuk setiap siswa. Karena himpunan data pribadi bersifat berkelanjutan maka kerjasama antara guru bimbingan koseling dengan personel yang bertugas memelihara data pribadi terdahulu harus terjalin. Agar penambahan data pribadi tidak terlalu menggelembung (semakin besar dan terlalu banyak) maka tidak semua keterangan yang yang terdahulu harus tetap disimpan, perlu diseleksi dan data keterangan yang relevan saja yang tetap dipertahankan. Himpuanan dta pribadi memang perlu lengkap dan menyeluruh, tetapi harus tetap sederhana, ringkas, dan bersifat seperlunya. Dalam data pribadi diungkap hal – hal sebagai berikut:
·         Data identitas pribadi
·         Keadaan fisik
·         Data keluarga
·         Riwayat pendidikan sebelumnya
·         Riwayat kesehatan dll.
Data kelompok menyangkut aspek tertentu dari sekelompok siswa, seperti gambaran menyeluruh tentang prestasi belajar dalam satu kelas. Dari data kelompok ini dapat dipetik beberapa hal yang perlu untuk digabungkan ke dalam dat pribadi. Demikian pula sebaliknya, pengolahan data pribadi sekelompok siswa dapat menghasilkan data kelompok untuk sejumlah karya siswa tertentu. Setiap satuan data kelompok perlu dipisah – pisah secra jelas agar tidak campur aduk denganmemperhatikan prinsip, sederhana, ringkas dan seperlunya.
Data umum adalah data atau keterangan yang tidak secara langsung menyangkut diri siswa baik secara pribadi maupun secra kelompok. Biasanya data ini bersumber dari luar diri siswa, seperti informasi kesempatan memperoleh pendidikan, informasi keadaan lingkungan social budaya. Himpunan data ini biasanya dihimpun tersendiri berupa buku atau kumpulan leaflet tentang sesuatu. Yang perlu dijaga untuk dta ini adalah kemutakhiran, ketepatan, dan kemanfaatannya.
Data khusus adalah keterangan tentang anak dalam hal bidang khusus, misalnya data tentang intelegensi, bakat, kebiasaan belajar di kelas, minat belajar dan hubungan sosial.
  1. Karakteristik Mutu Instrument
Dilihat dari mutunya, instrument asesmen dapat dibedakan menjadi dua kelompok yang sering digunakan, yaitu instrument standar (standardized test, standardized instrument) dan instrument tidak standar. Suatu instrument dikatakan standar bila instrument tersebut telah diuji berbagai aspek kebaikannya, misalnya reliabilitas, validitas, dan daya pembeda soal dari item – itemya[5]. Sedangkan instrument yang tidak standar (tidak dibakukan) aspek – aspek tersebut tidak dikitahui secra pasti.
Instrument yang baku biasanya dilengkapi perangkat instrument, yang disebut dengan nama “MANUAL”. Dalam manual biasanya tercantum:
·         Penjelasan tentang aspek – aspek yang diungkap
·         Kegunaan instrument
·         Cara pengadministrasian (cara pelaksanaan, pemeriksaan, sampai scoring)
·         Norma yang digunakan
·         Penjelasan tingkat kebaikan instrument dan car pembakuannya.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai konsep validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda soal.
1.      Validitas
Validitas menunjukkan tingkat ketepatan suatu alat instrument (tes ataupun nontes) dalam mengukur aspek yang hendak diukur, atau mengungkap data yang hendak diungkap. Setiap alat/ instrument harus hanya mengukur satu dimensi atau aspek saja. Suatu tes hasil belajar dikatakan valid kalau hanya mengungkap hasil belajar tertentu saja. Mistar hanya mengukur panjang atau jarak, timbangan hanya mengukur berat, tes matematika soal – soalnya harus hanya mengukur pengetahuan matematika saja dan sebagainya,
Tidak mustahil, dalam soal matematika terdapat unsur bahasa atau bentuk soal yang belum dikenal oleh siswa, sehingga berhasil tidaknya siswa menjawab soal tersebut tidak semata – mat ditentukan oleh pengetahuan di bidang matematika, melainkan ditentukan pula oleh kemampuan memahami bahasa, bentuk soal dan sebagainya. Tes seperti ini kurang valid. Suatu tes yang hanya mengukur satu dimensi, biasanya soal yang satu dengan soal yang lain memiliki keterkaitan yang erat. Karena itu disyaratkan bahwa setiap aspek/ subtes/ soal harus berkorelasi tinggi dengan satua  sama lain sehingga dapat dijadikan bukti bahwa senua aspek tersebut memang merupakan bagian dari aspek yang lebih luas. Jika tidak, konsekuensinya skor- skor untuk masing – masing soal jangn dijumlahkan begitu saja sebagai skor total.
Berdasarkan konsep di atas, maka validitas itu akan selalu terkait dengan pertanyaan:
·         Valid dalam hal apa?
·         Valid untuk siapa?
Tes yang valid untuk mengukur bakat, tidak akan valid jika digunakan untuk mengukur minat. Demikian juga tes yang valid untuk siswa SMA kelas XII, tidak akan valid untuk mahasiswa atau siswa SMP. Dengan demikian, menguji validitas suatu tes berarti berarti kita membandingkan tes yang kita buat dengan suatu criteria tertentu.
A. Konsep Validitas
Kata “valid” dapat diartikan dengan tepat, benar, absah, atau shahih. Validitas (validity), dengan demikian, berarti ketepatan, kebenaran, keabsahan, atau keshahihan. Barkaitan dengan pengukuran, maka validitas pengukuran tidak lain daripada ketepatan pengukuran dalam mengukur apa (obyek) yang seharusnya diukur dengan suatu alat atau instrumen. Misalnya, untuk mengukur tinggi badan digunakan meteran dengan unit sentimeter (cm).
Pengukuran yang memiliki validitas harus dengan menggunakan (alat) pengukur yang bersifat valid. Alat ukur dinyatakan valid apabila alat tersebut secara tepat dapat mengukur obyek yang seharusnya diukur (dengan alat itu). Validitas alat pengukur adalah gambaran dari taraf  ketepatan alat itu mencapai sasarannya.
Mengukur dengan pengukur yang valid (serta reliabel, obyektif, norm, dan praktis) menghasilkan pengukuran standar. Sebagai contoh, thermometer merupakan alat ukur standar untuk mengukur tinggi rendahnya suhu udara. Thermometer telah dikenal sebagai alat ukur yang valid. Alat ukur standar lainnya, misalnya barometer, hidrometer, AUM, tes IQ (seperti PM, CFIT), tes kepribadian. Kita mungkin mengukur suatu jarak dengan seutas tali, mengukur berat sebuah benda dengan  melihat tekanannya terhadap benda lain, mengukur kepribadian dengan daftar pertanyaan tertentu. Hal ini dapat saja dikatakan melakukan pengukuran, tapi belum tentu memenuhi ciri pengukuran standar.
 B. Analisis Validitas
Untuk menentukan validitas suatu pengukuran maka dilakukan analisis terhadap alat ukur yang dipakai. Analisis tersebut menghasilkan berbagai jenis validitas dari suatu alat ukur. Ada dua cara untuk menganalisis validitas alat ukur, yaitu (1) Analisis Logika (logical analysis); dan (2) Analisis Empirik (empirical analysis). Analisis dengan cara logika menghasilkan validitas logika, dan analisis yang berdasarkan kenyataan empirik menghasilkan validitas empirik dari alat ukur.

1.  Validitas Logika

Validitas logika adalah validitas yang diperoleh dengan menerapkan cara berpikir logis-rasional-kritis terhadap suatu alat ukur. Untuk menentukan apakah suatu alat ukur telah memiliki validitas logika maka dianalisis dari dua segi, yakni dari segi (1) isi (content); dan (2) konstruksi (construct).

Validitas Isi

Validitas isi dari alat ukur diperoleh setelah dilakukan analisis terhadap isi yang terkandung pada alat ukur itu. Analisis dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh isi alat me-representasi-kan keseluruhan bahan dari obyek yang harus diukur dengan alat tersebut. Misalnya, untuk mengetahui validitas isi sebuah tes hasil belajar, maka analisisnya adalah untuk mengetahui seberapa jauh isi atau butir-butir tes tersebut mewakili keseluruhan materi pelajaran yang seharusnya diujikan. Contoh lain, untuk menguji validitas isi sebuah tes IQ, analisis dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh butir-buitir dalam tes IQ itu mewakili aspek-aspek intelegensi yang seharusnya diukur.
Cara yang dapat ditempuh dalam analisis isi adalah sbb:
a.       Menetapkan domain dari bentuk-bentuk atau tujuan-tujuan dari keseluruhan obyek yang seharusnya diukur. Misalnya, dalam tes hasil belajar, domainnya adalah tujuan-tujuan pengajaran yang ditetapkan dalam kurikulum, dalam tes kepribadian domainnya adalah tingkahlaku-tingkahlaku yang menunjukkan kepribadian.
b.      Mengadakan panel atau diskusi dengan para ahli yang memiliki keahlian tentang domain isi dari obyek alat ukur. Para ahli diminta untuk membandingkan dan memeriksa kesesuaikan antara butir atau item atau aspek alat ukur dengan domain obyek yang seharusnya diukur.
c.       Penghimpunan data dari proses pemeriksaan tersebut.
Data hasil pemeriksaan tersebut kemudian dianalisis untuk melihat apakah isi alat ukur telah mencerminkan domain keseluruhan obyek yang harus diukur. Data tersebut dapat menjadi pedoman untuk memperbaiki dan menyempurnakan isi alat ukur, sehingga akhirnya alat ukur tersebut memiliki validitas isi.
Validitas isi yang melukiskan representasi isi tes terhadap keseluruhan isi obyek yang seharusnya diukur diilustrasikan sebagai berikut:








Oval: Isi alat ukur

 

 

 

 

 



Validitas Konstruksi

Validitas konstruksi diperoleh dengan menganalisis konstruksi (susunan, kerangka) alat ukur apakah sudah menggambarkan secara tepat konstruksi dari obyek yang diukur sesuai dengan teori yang melandasinya. Umpamanya, dalam hal tes hasil belajar, seberapa jauh butir-butirnya telah dengan tepat mengukur  domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini karena sasaran pengajaran pada umumnya menggunakan teori Taksonomi Bloom’s yang dibangun dengan tiga konsep psikologi tersebut. Untuk mengetahui validitas konstruksi dari sebuah tes intelegensi terlebih dahulu ditetapkan “konstruksi intelegensi” yang dipakai untuk tes tersebut. Misalnya konstruksi intelegensi menurut Staford Binet.
Cara yang dapat ditempuh dalam analisis konstruksi ini dapat dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana analisis validitas isi.
Ilustrasi validitas konstruksi alat ukur dapat digambarkan sbb:








 








                                                                                    Konstruksi alat ukur
           
Konstruksi Obyek                              

2. Validitas Empirik
Validitas empirik adalah validitas pengukuran yang diperoleh berdasarkan analisis terhadap data empirik (yang dikumpulkan dari lapangan). Untuk menentukan apakah suatu alat ukur telah memiliki validitas empirik maka dianalisis dari dua segi, yakni dari segi (1) ketepatan prediksi atau meramal (predictive validity); dan (2) ketepatan bandingan (concurrent validity).

Validitas Ramalan

Validitas ramalan pengukuran diperoleh setelah dilakukan analisis terhadap seberapa jauh ketepatan alat ukur memprediksi “apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang”. Sebagai contoh, tes seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi dapat digunakan untuk memprediksi prestasi belajar yang bakal diperoleh calon mahasiswa yang mengikuti tes setelah mereka mengikuti perkuliahan. Prestasi belajar yang ditunjukkan dengan indeks prestasi (IP) dapat ditetapkan sebagai tolok ukur atau kriterium dari tes seleksi tersebut. Apabila antara hasil tes seleksi (alat ukur) dengan IP mahasiswa (kriterium) berjalan searah (korelasi positif), maka tes seleksi tersebut dikatakan memiliki daya ramal atau validitas ramalan.
Untuk mengetahui validitas ramalan sebuah tes IQ, misalnya kriterium yang ditetapkan adalah nilai hasil belajar, maka dilakukan analisis terhadap seberapa jauh hasil-hasil tes IQ  sejajar dengan nilai hasil belajar dari siswa-siswa yang di-tes.
Cara yang dapat ditempuh dalam analisis validitas ramalan adalah sbb:
a.       Menetapkan kriterium tingkah laku atau prestasi yang sesuai dengan pengukuran.
b.      Aplikasi alat ukur terhadap sampel yang mewakili populasi.
c.       Mencatat skor setiap individu.
d.      Mendapatkan skor kriterium untuk setiap individu pada waktu datanya tersedia.
e.       Mencari kuatnya korelasi antara skor tes dengan skor kriterium.
Cara yang dapat digunakan untuk menentukan korelasi adalah dengan menerapkan Teknik Analisis Koefisien Korelasi Product Moment (r).
Nilai r yang menunjukkan adanya hubungan sejajar atau korelasi positif antara alat ukur dengan kriteriumnya digambarkan pada diagram di bawah ini.






 


5


4

A
3


2


1








2
4
6
8
10



Y



Validitas Bandingan

Perbedaan antara validitas bandingan dan validitas ramalan hanya menyangkut persoalan waktu. Alat ukur dengan validitas ramalan digunakan untuk meramalkan prestasi atau kejadian di masa datang, sedangkan  alat ukur dengan validitas bandingan digunakan untuk meramalkan prestasi atau kejadian saat ini. Pada pengujian validitas bandingan skor kriterium sudah tersedia dalam waktu berbarengan dengan skor hasil pengadministrasian alat ukur yang akan diuji validitasnya. Misalnya, sebuah tes bakat akan diuji validitas bandingan-nya. Tes bakat tersebut diadministrasikan pada sekelompok siswa, sehingga diperoleh skor bakat siswa. Setelah itu kepada siswa yang sama diberikan ujian mata pelajaran tertentu. Pembandingan dengan mencari korelasi antara skor hasil tes bakat (alat ukur) dengan skor hasil ujian mata pelajaran (kriterium) menghasilkan seberapa jauh tes bakat memiliki validitas bandingan. Apabila hubungannya bersifat sejajar atau memiliki korelasi positif, maka tes bakat tersebut dapat dikatakan memiliki validitas bandingan. Prosedur untuk memperoleh validitas bandingan sama dengan langkah-langkah yang ditempuh dalam memperoleh validitas ramalan.
Analisis validitas bandingan dapat diilustrasikan sbb:








Can: Hasil Tes Bakat Numerikal

Bevel: Hasil Ujian Matematika


Left-Right Arrow: r = ?


 




2.      Reliabilitas
Reliabilitas tes menunjukkan tingkat keajegan suatu tes, yaitu sejauh mana tes tersebut dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang ajeg. Kecermatan hasil pengukuran ditentukan oleh banyaknyainformasi yang dihasilkan dan sangat berkaitan dengan satuan ukuran dan jarak rentang (range) dari skala yang digunakan. Dlam mengukur berat sebuah cincin emas, pengukuran dengan timbangan yang bersatuan milligram dan berjarak rentang antar 0 - 1000mg, tentu akan menghasilkan ukuran yang lebih teliti daripada menggunakan timbangan dengan satuan kilogram dengan berjarak rentang 0 – 100 kg. begitu pula dengan tes prestasi belajar. Sebuah tes dengan jumlah soal yang banyak dan seluruh soalnya bertaraf kesukaran sedang (on target) bagi orang yang menempuh, tentu akan menghasilkan informasiyang lebih teliti mengenai orang yang diukur, jika dibandigkan dengan tes yang soalnya sedikit dan tingkat kesukarannya rendah (off target). Dengan kata lain, soal – soal sebuah tes jangan terlalu dibawah atau diatas kemampuan tingkat pembelajaran siswa, dan tingkat kesukaran butir soalnya harus relative homogen.
Menurut balitbangdikbud, mengenai keajegan (consistency) dari skor suatu tes, dapat dibedakan menjadi keajegan internal dan keajegan eksternal. Keajegan internal adalah sejauh mana butir – butir soal sebuah tes itu homogeny baik dari segi tingkatr kesukaran maupun dari segi bentuk soal/prosedur menjawabnya. Jadi tingkat kesukaran soal harus sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Tingkat keterhandalan skor dalam tes berarti (1) homogenitas butir soal, dan kehandlan butir – butir soal dalam mengungkap perbedaan kemampuan yang terdapat di kalangan siswa[6].
Keajegan eksternal adalah sejauhmana skor yang dihasilkan dari tes tersebut kepada sekelompok orang akan tetap sama sepanjang orang tersebut belum berubah. Hal ini dapat diuji dengan indeks korelasi dari tes retes atau dengan parallel form
Teknik pengujian reliabilitas suatu instrument dapat dilakukan dengan beberapa cara/teknik. Setiap teknik/cara akan menghasilkan jenis reliabilitas yang berbeda.
Di muka sudah dikatakan bahwa reliabilitas merujuk kepada keajegan suatu tes dalam menghasilkan skor yang relative konsisten. Ini berarti bhwa tes yang reliable akan mampu memberikan skor yang relative konstan walaupun dibrikan pada situasi yang berbeda – beda. Ada tiga cara untuk menetahui reliabilitas, yang prinsipnya adalah menghitung indeks korelasi. Tiga cara tersebut adalah[7] :
·         Metode tes ulang (tesretest method)
·         Metode tes parallel (parallel test method)
·         Tekhnik belah dua (splithalf method)
3.      Daya pembeda ( discriminating power/ discriminating index)
Soal – soal dari suatu tes yang baik akan mampu membedakan antara testi yang benar – benar mampu dengan testi yang kuarang mampu, antara testu yang benar – benar belajar dengan testi yang tidak belajar. Secara empiric hal ini akan ditunjukkan dengan adanya perbedaan skor/hasil yang diperoleh oleh orang yang termasuk kelompok unggul dengan skor yang diperoleh oleh orang dari kelompok asor. Jadi orang – orang dari kelompok unggul akan lebih banyak benar dibandingkan dengan orang dari kelompok asor.
4.      Tingkat kesukaran (difficulty index)
Soal – soal suatu tes yng baik akan memiliki tingkat kesulitan yang seimbang. Seimbang di sini berarti berkenaan dengan proporsi penyebaran soal mudah, sedang, dan sukare. Proporsinya bias 20% mudah, 60%sedang, dan 20%sukar, atau komposisi yang lain (1:2:1). Soal yang mudah diperlukan untuk memberikan motivasi kerja, sedangkan soal yang sukar diperlukan untuk seleksi.
  1. Konstruksi Instrument
Suatu instrument dibangun atau dikembangkan atas dasar konstruksi tertentu. Konstruksi tersebut biasanya dikembangkan atau diturunkan dari teori tertentu. Misalnya kita akan mengembangkan alat ukur (instrument) untuk mengukur tingkat intelegensi seseorang. Langkah umum yang harus ditempuh adalah:[8]
1.      Menetapkan landasan teori atau konstruk yang dikembangkan
2.      Memikirkan alat ukur model apa yang akan dikembangkan, akan menggunakan instrument tes atau nontes. Kalau non tes, akan model apa yang digunakan, post choice atau skala.
3.      Mengembangkan layout (kisi – kisi)
Dalam menentukan atau mempertimbangkan model instrument mana yang akan digunakan ( tes atau nontes) dan bagaimana cara pengumpulan data itu akan dilakukan, biasanya diawali dengan mempertimbangkan.
  • Untuk apa data itu diperlukan (untuk tujuan apa), dan
  • Jenis data apa (data yang bagaimana) yang diperlukan.
Setelah kedua hal itu terumuskan secara umum langkah atau prosedur yang harus ditempuh dalam mengembangkan instrument pengumpul data (baik tes maupun nontes) adalah sebagai berikut:
1.      Mengembangkan kisi –kisi pengembangan instrument
2.      Menentukan format instrument yang digunakan
3.      Mengembangkan konstruk instrument
4.      Menulis atau merumuskan item – item sesuai dengan format yang dipilih
5.      Mengkaji ulang rumusan item – item instrument oleh staf lain (judgment)
6.      Merevisi item – item instrument berdasarkan hasil judgment
7.      Menggandakan instrument
8.      Ke lapangan (pengumpulan data)


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Instrument dalam bimbingan konseling adalah alat untuk mengumpulkan data – data tentang klien, sehingga dengan adanya data yang akurat tersebut maka pemberian bimbingan dapat dilaukan secara efektif. Data yang akurat tersebut hanya akan dapat dikumpulkan dengan alat instrument yang tepat pula.
Data dalam proses bimbingan dan konseling dibedakan menjadi dua macam, yaitu data psikologis dan nonpsikologis, untuk mengungkap atau mengumpulkan kedua jenis data tersebut dapat dilakukan dengan dua pendekatan besar, yaitu pendekatan instrument tes dan non tes.
Tes merupakan himpunan pertanyaan yang harus dijawab, atau pertanyaan – pertanyaan yang harus ditanggapi dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek perilaku atau memperoleh informasi tertentu. Sedangkan non tes adalah kumpulan pertanyaan yang hasilnya tidak dinilai benar dan salah tetapi lebih kepada pengungkapan psikomotorik saja.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan did lam mutu instrument yaitu: validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran. Berikutnya adlah konstruksi instrument yang dikembangkan atas dasr teori tertentu.







DAFTAR PUSTAKA
Birdie, Ralph F , Counseling and The Use of Test, A Manual for The State Wide Testing Programs of Minnesota, (New York,  Associations of Minnesota College and The Student Counseling Bureau: 1979).
Furqon dan Yaya Sunarya, Pengembangan Instrument Asesmen Perkembangan Siswa, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2010)
Depdiknas, Pedoman Pengembangan Instrument dan Penilaian Ranah Afektif. (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2004)
Depdiknas, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, 2004)
Depdiknas, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Penilaian Kelas, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2002)
Depdiknas, Pedoman Diagnostic Potensi Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2004)
Natawidjaya, R,  Proses Penyusunan Skala Sikap, (Bandung: IKIP, 1985)





[1] Ralph F Birdie, Counseling and The Use of Test, A Manual for The State Wide Testing Programs of Minnesota, (New York,  Associations of Minnesota College and The Student Counseling Bureau: 1979). Hlm 78
[2]  Furqon dan Yaya Sunarya, Pengembangan Instrument Asesmen Perkembangan Siswa, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2010). Hlm .200.
[3] Ibid, hlm 201.
[4] Depdiknas, Pedoman Pengembangan Instrument dan Penilaian Ranah Afektif. (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2004) hlm 98.
[5] Depdiknas, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, 2004) hlm 156.
[6] Depdiknas, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Penilaian Kelas, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2002) hlm 225.
[7] Depdiknas, Pedoman Diagnostic Potensi Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2004) hlm 135.
[8] R Natawidjaya, Proses Penyusunan Skala Sikap, (Bandung: IKIP, 1985) hlm 145.

No comments:

Post a Comment