BAB
I
PENDAHULUAN
Fungsi utama instrument asesmen adalah
untuk mengumpulkan data. Dalam berbagai keperluan ilmiah data merupakan bentuk
jamak dari datum, yang mempunyai arti sebagai sejumlah keterangan atau
informasi tentang sesuatau benda atau nonbenda. Informasi atau keterangan
tersebut dapat berupa besaran, ukuran, angka, atau dapat pula berupa penjelasan
deskriftif, uraian atau kualifikasi tentang sesuatu. Jadi data merupakan
“potret” atau gambaran lengkap tentang sesuatu. Misalnya data intelegensi dapat
dimaknai sebagai ukuran, angka, deskripsi atau kualifikasi tentang intelegensi
seseorang. Demikian pula pengerytian dta pribadi berarti kumpulan tentang angka
– angka, ukuran, besaran, deskripsi, dan kualifikasi tentang pribadi seseorang.
Pemberian bimbingan akan efektif
jika didasarkan pada data yang akurat. Birdie, menyatakan bahwa jika konselor
ingin melakukan kegiatan bimbingan secara efektif atau melakukan kerja apa saja
dengan siswa (klien), maka dia harus mengetahui segala sesuatu yang ada pada siswa
(klien) nya tersebut[1].
Lebih banyak informasi yang diketahui tentang klien, maka dia akan dapat
bekerja dengan lebih baik dengan kliennya.
Data yang akurat hanya akan didapat
jika dikumpulkan dengan menggunakan alat instrument yang tepat pula. Kadang –
kadang guru bimbingan konseling punya dta yang banyak tentang seseorang, tetapi
data tersebut dirasa tidak cukup, karena tidak sesuaidengan kebutuhan pemecahan
masalahnya. Pada kondisi demikian, maka kedudukan instrument menjadi sangat
penting. Disinilah fungsi pemahaman dari bimbingan diperlukan.
Kedudukan data dalam bimbingan
sangat sentral. Untuk itu guru bimbingan dan konseling perlu memahami betul
data apa yang diperlukan untuk memecahkan suatu masalah atau melakukan suatu
kegiatan bimbingan. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana data tersebut
dapat dikumpulkan.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Instrument Bimbingan dan Konseling
Dalam bimbingan konseling fungsi
utama instrument terkait dengan pemahaman individu (klien). Instrument asesmen
digunakan untuk mengumpulkan berbagai data informasi tentang siswa.
Data tentang siswa dapat dibedakan
menjadi data psikologis dan nonpsikologis. Data psikologis adalah data yang
terkait dengan aspek – aspek psikologis dari siswa seperti data tentang
intelegensi (kecerdasan), dan data tentang aspek – aspek kepribadian. Sedangkan
data nonpsikologis adalah data yang terkait dengan prestasi yang diperoleh, dta
tentang diri (dat pribadi), dan data tentang lingkungan.
Untuk mengungkap atau mengumpulkan kedua jenis data
tersebut dapat dilakukan dengan dua pendekatan besar, yaitu pendekatan tes dan
pendekatan non tes.
Tes merupakan himpunan pertanyaan yang harus
dijawab, atau pernyataan – pernyataan yang harus dipilih atau ditanggapi, atau
tugas – tugas yang harus dilakukan oleh orang yang dites (testi) dengan tujuan
untuk mengukur suatu aspek perilaku atau memperoleh informasi tentang trait
atau atribut dari orang yang dites[2].
Dalam setiap pertanyaan, peryataan, atau tugas yang diberikan tersebut terdapat
jawaban atau alternative yang dianggap benar. Dengan demikian, maka setiap tes
akan menuntut respons atau jawaban dari orang yang dites (testee) yang
dapat disimpulkan sebagi trait dari subjek yang sedang dicari informasinya.
Dari uraian ini tersirat bahwa tes berfungsi sebagai alat (instrument) ataupun
sebagai cara pengungkap informasi atau pengumpul data tentang siswa.
Istilah tes tidak hanya digunakan dalam bidang
pendidikan, tetapi dlam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang kesehatan ada
istilah tes urine, dlam bidang pekerjaan ada tes penempatan, dalam bidang
psikologi ada tes intelgensi, tes kepribadian, dan sebagainya. Dalam bidang
pendidikan kita mengenal istilah tes hasil belajar, tes diagnostic, ujian
tengah semester, ujian akhir semester, dan lain – lain.
Dalam tes hasil belajar , yang hendak diukur atau
dicari informasinya ialah tingkat kemampuan sesorang siswa dalam menguasai
bahan pelajaran yang telah diajarkan padanya. Dalam hal ini perlu dibedakan
antara prestasi hasil belajar (achievement) dan hasil belajar (learning
outcome). Hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak seseorang.
Tes untuk mengukur prestasi belajar (achievement
test) ataupun untuk mengungkap aspek – aspek psikologis, dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu tes kemampuan (power test) dan tes
kecepatan (speed test).
Power test.
Prinsip utama power test adlah tidak adanya pembatasan waktuyang ketat bagi
testi untuk mengerjakan pekerjaan (test) tersebut. Menurut prinsip ini
jika waktu pengerjaan tes tidak dibatasi secara ketat, mnaka hasil tes akan
benar – benar mengungkap kemampuan testi. Pembatasan waktu dalam mengerjakan
tes, diperkirakan akan menyebabkan testi tidak dapat menunujukkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Namun demikian, dalam penyelenggaraan tes yang
diberikan secara klasikal tidaklah efisien jika testi yang lambat pun ditunggu
sekehendak dia. Untuk mengatasi hal ini, para ahli berpendapatbahwa suatau tes
dapat diuanggap sebagai power test, jika sebagian orang yang di tes (testee)
dapat menyelesaikannya dalam waktu yang sudah ditentukan atas dasar kemampuan
kebanyakan orang.
Speed test.
Dalam tes ini yang diukur ialah kecepatan di dalam memikirkan atau mengerjakan
suatu persoalan. Itulah sebabnya tes ini disebut tes kecepatan. Semakain
sedikit waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu tugas (biasanya tugasnya
relative mudah), maka semakin baiklah prestasi atau kemampuan seseorang.
Biasanya model ini lebih banyakdigunakan dalam tes bakat atau tes kecerdasan.
Tes prestasi belajar yang disusun oleh guru, pada umumnya tes kemampuan buakan
tes kecepatan.
Selain dengan cara tes, alat atau cara pengumpulan
data dapat pula dilakukan dengan cara non tes yang dilaksanakan dalam bentuk
wawancara, observasi, angket, atau inventori[3].
Perbedaan utama antara tes dan non tes terletak alam tiga hal. Pertama, bahwa
pada tes ada jawaban benar dan slah, sedangkan pada nontes jawaban benar dan
salah sangat kondisional. Misalnya jawaban atas pertanyaan “berapa jumlah
saudara kamu? Apa pekerjaan orangtua kamu?” akan sangat bervariasi, dan
semuanya bisa betul. Kedua, adalah hasil pada nontes lebih bersifat kualitatif,
sedangkan tes lebih kuantitatif (walaupun akhirnya dapat dikualitatifkan).
Ketiga, pelaksana tes adalah orang yang professional, sedangkan nontes tidak
selamnya harus orang professional. Dalam dunia pendidikan cara nontes sering
digunakan untuk mengungkap hasil belajar (learning outcome), yang
banyk menyangkut aspek afektif, dan pada prestasi belajar (learning achievement),
aspek kognitif dan psikomotor[4].
Dilihat dari bentuknya, secara umum data yang
diperoleh dapat dibedakan menjadi dua
jenis data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuatitatif
diperoleh dar hasil pengukuran yang wujudnya berupa angka –angka atau data
kualifikasi yang diangkakan (skor). Data kualitatif diperoleh dari hasil
penilaian yang berupa kualifikasi, kata – kata atau kalimat, seperti cerdas,
baik, buruk, banyak, sedikit dan seterusnya.
Data kuantitatif dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar, yaitu data diskrit dan data kontinum. Data diskrit adalah data yang
diperoleh dari hasil menghitung atau membiulang. Data diskrit sering juga
disebut data nominal. Data kontinum secra hierarki dapat dikelompokkan menjadi
data ordianal, data interval, dan data rasio. Keempat jenis data ini sifatnya
berjenjang (berskala).
Dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling di
sekolah dapat dibedakan menjadi empat kelompok data, yaitu dta pribadi, data
kelompok, data umum, dan data khusus.
Data pribadi adalah data atau keterangan yang
menyangkut diri masing – masing siswa secara individual (perorangan). Himpuanan
data pribadi dilakukan secara terpisah untuk setiap siswa. Karena himpunan data
pribadi bersifat berkelanjutan maka kerjasama antara guru bimbingan koseling
dengan personel yang bertugas memelihara data pribadi terdahulu harus terjalin.
Agar penambahan data pribadi tidak terlalu menggelembung (semakin besar dan
terlalu banyak) maka tidak semua keterangan yang yang terdahulu harus tetap
disimpan, perlu diseleksi dan data keterangan yang relevan saja yang tetap
dipertahankan. Himpuanan dta pribadi memang perlu lengkap dan menyeluruh,
tetapi harus tetap sederhana, ringkas, dan bersifat seperlunya. Dalam data
pribadi diungkap hal – hal sebagai berikut:
·
Data identitas pribadi
·
Keadaan fisik
·
Data keluarga
·
Riwayat pendidikan sebelumnya
·
Riwayat kesehatan dll.
Data kelompok menyangkut aspek tertentu dari
sekelompok siswa, seperti gambaran menyeluruh tentang prestasi belajar dalam
satu kelas. Dari data kelompok ini dapat dipetik beberapa hal yang perlu untuk
digabungkan ke dalam dat pribadi. Demikian pula sebaliknya, pengolahan data
pribadi sekelompok siswa dapat menghasilkan data kelompok untuk sejumlah karya
siswa tertentu. Setiap satuan data kelompok perlu dipisah – pisah secra jelas
agar tidak campur aduk denganmemperhatikan prinsip, sederhana, ringkas dan
seperlunya.
Data umum adalah data atau keterangan yang tidak
secara langsung menyangkut diri siswa baik secara pribadi maupun secra kelompok.
Biasanya data ini bersumber dari luar diri siswa, seperti informasi kesempatan
memperoleh pendidikan, informasi keadaan lingkungan social budaya. Himpunan
data ini biasanya dihimpun tersendiri berupa buku atau kumpulan leaflet tentang
sesuatu. Yang perlu dijaga untuk dta ini adalah kemutakhiran, ketepatan, dan
kemanfaatannya.
Data khusus adalah keterangan tentang anak dalam hal
bidang khusus, misalnya data tentang intelegensi, bakat, kebiasaan belajar di
kelas, minat belajar dan hubungan sosial.
- Karakteristik Mutu Instrument
Dilihat dari mutunya, instrument asesmen dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yang sering digunakan, yaitu instrument standar (standardized
test, standardized instrument) dan instrument tidak
standar. Suatu instrument dikatakan standar bila instrument tersebut telah
diuji berbagai aspek kebaikannya, misalnya reliabilitas, validitas, dan daya
pembeda soal dari item – itemya[5].
Sedangkan instrument yang tidak standar (tidak dibakukan) aspek – aspek
tersebut tidak dikitahui secra pasti.
Instrument yang baku biasanya dilengkapi perangkat
instrument, yang disebut dengan nama “MANUAL”. Dalam manual biasanya tercantum:
·
Penjelasan tentang
aspek – aspek yang diungkap
·
Kegunaan instrument
·
Cara pengadministrasian
(cara pelaksanaan, pemeriksaan, sampai scoring)
·
Norma yang digunakan
·
Penjelasan tingkat
kebaikan instrument dan car pembakuannya.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai
konsep validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda soal.
1. Validitas
Validitas menunjukkan tingkat ketepatan suatu alat
instrument (tes ataupun nontes) dalam mengukur aspek yang hendak diukur, atau
mengungkap data yang hendak diungkap. Setiap alat/ instrument harus hanya
mengukur satu dimensi atau aspek saja. Suatu tes hasil belajar dikatakan valid
kalau hanya mengungkap hasil belajar tertentu saja. Mistar hanya mengukur
panjang atau jarak, timbangan hanya mengukur berat, tes matematika soal –
soalnya harus hanya mengukur pengetahuan matematika saja dan sebagainya,
Tidak mustahil, dalam soal matematika terdapat unsur
bahasa atau bentuk soal yang belum dikenal oleh siswa, sehingga berhasil tidaknya
siswa menjawab soal tersebut tidak semata – mat ditentukan oleh pengetahuan di
bidang matematika, melainkan ditentukan pula oleh kemampuan memahami bahasa,
bentuk soal dan sebagainya. Tes seperti ini kurang valid. Suatu tes yang hanya
mengukur satu dimensi, biasanya soal yang satu dengan soal yang lain memiliki
keterkaitan yang erat. Karena itu disyaratkan bahwa setiap aspek/ subtes/ soal
harus berkorelasi tinggi dengan satua
sama lain sehingga dapat dijadikan bukti bahwa senua aspek tersebut
memang merupakan bagian dari aspek yang lebih luas. Jika tidak, konsekuensinya
skor- skor untuk masing – masing soal jangn dijumlahkan begitu saja sebagai
skor total.
Berdasarkan konsep di atas, maka validitas itu akan
selalu terkait dengan pertanyaan:
·
Valid dalam hal apa?
·
Valid untuk siapa?
Tes yang valid untuk mengukur bakat, tidak akan
valid jika digunakan untuk mengukur minat. Demikian juga tes yang valid untuk
siswa SMA kelas XII, tidak akan valid untuk mahasiswa atau siswa SMP. Dengan
demikian, menguji validitas suatu tes berarti berarti kita membandingkan tes
yang kita buat dengan suatu criteria tertentu.
A. Konsep Validitas
Kata “valid” dapat diartikan dengan tepat, benar,
absah, atau shahih. Validitas (validity), dengan demikian,
berarti ketepatan, kebenaran, keabsahan, atau keshahihan. Barkaitan dengan
pengukuran, maka validitas pengukuran tidak lain daripada ketepatan pengukuran
dalam mengukur apa (obyek) yang seharusnya diukur dengan suatu alat atau
instrumen. Misalnya, untuk mengukur tinggi badan digunakan meteran dengan unit
sentimeter (cm).
Pengukuran yang memiliki validitas harus dengan
menggunakan (alat) pengukur yang bersifat valid. Alat ukur dinyatakan valid
apabila alat tersebut secara tepat dapat mengukur obyek yang seharusnya diukur
(dengan alat itu). Validitas alat pengukur adalah gambaran dari taraf ketepatan alat itu mencapai sasarannya.
Mengukur dengan pengukur yang valid (serta reliabel,
obyektif, norm, dan praktis) menghasilkan pengukuran standar. Sebagai
contoh, thermometer merupakan alat ukur standar untuk mengukur tinggi rendahnya
suhu udara. Thermometer telah dikenal sebagai alat ukur yang valid. Alat ukur
standar lainnya, misalnya barometer, hidrometer, AUM, tes IQ (seperti PM,
CFIT), tes kepribadian. Kita mungkin mengukur suatu jarak dengan seutas tali,
mengukur berat sebuah benda dengan
melihat tekanannya terhadap benda lain, mengukur kepribadian dengan
daftar pertanyaan tertentu. Hal ini dapat saja dikatakan melakukan pengukuran,
tapi belum tentu memenuhi ciri pengukuran standar.
B. Analisis Validitas
Untuk menentukan validitas suatu pengukuran maka
dilakukan analisis terhadap alat ukur yang dipakai. Analisis tersebut
menghasilkan berbagai jenis validitas dari suatu alat ukur. Ada dua cara untuk
menganalisis validitas alat ukur, yaitu (1) Analisis Logika (logical
analysis); dan (2) Analisis Empirik (empirical analysis). Analisis
dengan cara logika menghasilkan validitas logika, dan analisis yang berdasarkan
kenyataan empirik menghasilkan validitas empirik dari alat ukur.
1. Validitas Logika
Validitas logika adalah validitas yang diperoleh
dengan menerapkan cara berpikir logis-rasional-kritis terhadap suatu alat ukur.
Untuk menentukan apakah suatu alat ukur telah memiliki validitas logika maka
dianalisis dari dua segi, yakni dari segi (1) isi (content); dan (2)
konstruksi (construct).
Validitas Isi
Validitas
isi dari alat ukur diperoleh setelah dilakukan analisis terhadap isi yang
terkandung pada alat ukur itu. Analisis dilakukan untuk mengetahui seberapa
jauh isi alat me-representasi-kan keseluruhan bahan dari obyek yang harus
diukur dengan alat tersebut. Misalnya, untuk mengetahui validitas isi sebuah
tes hasil belajar, maka analisisnya adalah untuk mengetahui seberapa jauh isi
atau butir-butir tes tersebut mewakili keseluruhan materi pelajaran yang
seharusnya diujikan. Contoh lain, untuk menguji validitas isi sebuah tes IQ,
analisis dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh butir-buitir dalam tes IQ itu
mewakili aspek-aspek intelegensi yang seharusnya diukur.
Cara yang dapat ditempuh dalam
analisis isi adalah sbb:
a. Menetapkan
domain dari bentuk-bentuk atau tujuan-tujuan dari keseluruhan obyek yang
seharusnya diukur. Misalnya, dalam tes hasil belajar, domainnya adalah
tujuan-tujuan pengajaran yang ditetapkan dalam kurikulum, dalam tes kepribadian
domainnya adalah tingkahlaku-tingkahlaku yang menunjukkan kepribadian.
b. Mengadakan
panel atau diskusi dengan para ahli yang memiliki keahlian tentang domain isi
dari obyek alat ukur. Para ahli diminta untuk membandingkan dan memeriksa
kesesuaikan antara butir atau item atau aspek alat ukur dengan domain obyek
yang seharusnya diukur.
c. Penghimpunan
data dari proses pemeriksaan tersebut.
Data hasil pemeriksaan tersebut kemudian dianalisis
untuk melihat apakah isi alat ukur telah mencerminkan domain keseluruhan obyek
yang harus diukur. Data tersebut dapat menjadi pedoman untuk memperbaiki dan
menyempurnakan isi alat ukur, sehingga akhirnya alat ukur tersebut memiliki
validitas isi.
Validitas isi yang melukiskan representasi isi tes
terhadap keseluruhan isi obyek yang seharusnya diukur diilustrasikan sebagai
berikut:
Validitas Konstruksi
Validitas
konstruksi diperoleh dengan menganalisis konstruksi (susunan, kerangka) alat
ukur apakah sudah menggambarkan secara tepat konstruksi dari obyek yang diukur
sesuai dengan teori yang melandasinya. Umpamanya, dalam hal tes hasil belajar,
seberapa jauh butir-butirnya telah dengan tepat mengukur domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Hal ini karena sasaran pengajaran pada umumnya menggunakan teori Taksonomi
Bloom’s yang dibangun dengan tiga konsep psikologi tersebut. Untuk mengetahui
validitas konstruksi dari sebuah tes intelegensi terlebih dahulu ditetapkan
“konstruksi intelegensi” yang dipakai untuk tes tersebut. Misalnya konstruksi
intelegensi menurut Staford Binet.
Cara yang dapat ditempuh dalam analisis konstruksi
ini dapat dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana analisis validitas
isi.
Ilustrasi validitas konstruksi alat
ukur dapat digambarkan sbb:
Konstruksi
alat ukur
Konstruksi
Obyek
2.
Validitas Empirik
Validitas empirik adalah validitas pengukuran yang
diperoleh berdasarkan analisis terhadap data empirik (yang dikumpulkan dari
lapangan). Untuk menentukan apakah suatu alat ukur telah memiliki validitas
empirik maka dianalisis dari dua segi, yakni dari segi (1) ketepatan prediksi
atau meramal (predictive validity); dan (2) ketepatan bandingan (concurrent
validity).
Validitas Ramalan
Validitas ramalan pengukuran diperoleh setelah
dilakukan analisis terhadap seberapa jauh ketepatan alat ukur memprediksi “apa
yang akan terjadi pada waktu yang akan datang”. Sebagai contoh, tes seleksi
penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi dapat digunakan untuk memprediksi
prestasi belajar yang bakal diperoleh calon mahasiswa yang mengikuti tes
setelah mereka mengikuti perkuliahan. Prestasi belajar yang ditunjukkan dengan
indeks prestasi (IP) dapat ditetapkan sebagai tolok ukur atau kriterium dari
tes seleksi tersebut. Apabila antara hasil tes seleksi (alat ukur) dengan IP
mahasiswa (kriterium) berjalan searah (korelasi positif), maka tes seleksi
tersebut dikatakan memiliki daya ramal atau validitas ramalan.
Untuk mengetahui validitas ramalan sebuah tes IQ,
misalnya kriterium yang ditetapkan adalah nilai hasil belajar, maka dilakukan
analisis terhadap seberapa jauh hasil-hasil tes IQ sejajar dengan nilai hasil belajar dari
siswa-siswa yang di-tes.
Cara yang dapat ditempuh dalam
analisis validitas ramalan adalah sbb:
a. Menetapkan
kriterium tingkah laku atau prestasi yang sesuai dengan pengukuran.
b. Aplikasi
alat ukur terhadap sampel yang mewakili populasi.
c. Mencatat
skor setiap individu.
d. Mendapatkan
skor kriterium untuk setiap individu pada waktu datanya tersedia.
e. Mencari
kuatnya korelasi antara skor tes dengan skor kriterium.
Cara yang dapat digunakan untuk
menentukan korelasi adalah dengan menerapkan Teknik Analisis Koefisien Korelasi
Product Moment (r).
Nilai r yang
menunjukkan adanya hubungan sejajar atau korelasi positif antara alat ukur
dengan kriteriumnya digambarkan pada diagram di bawah ini.
|
5
|
|||||
|
4
|
|||||
A
|
3
|
|||||
|
2
|
|||||
|
1
|
|||||
|
|
|
|
|
||
2
|
4
|
6
|
8
|
10
|
||
|
|
Y
|
|
|
Validitas Bandingan
Perbedaan
antara validitas bandingan dan validitas ramalan hanya menyangkut persoalan
waktu. Alat ukur dengan validitas ramalan digunakan untuk meramalkan prestasi
atau kejadian di masa datang, sedangkan
alat ukur dengan validitas bandingan digunakan untuk meramalkan prestasi
atau kejadian saat ini. Pada pengujian validitas bandingan skor kriterium sudah
tersedia dalam waktu berbarengan dengan skor hasil pengadministrasian alat ukur
yang akan diuji validitasnya. Misalnya, sebuah tes bakat akan diuji validitas
bandingan-nya. Tes bakat tersebut diadministrasikan pada sekelompok siswa,
sehingga diperoleh skor bakat siswa. Setelah itu kepada siswa yang sama
diberikan ujian mata pelajaran tertentu. Pembandingan dengan mencari korelasi
antara skor hasil tes bakat (alat ukur) dengan skor hasil ujian mata pelajaran
(kriterium) menghasilkan seberapa jauh tes bakat memiliki validitas bandingan.
Apabila hubungannya bersifat sejajar atau memiliki korelasi positif, maka tes
bakat tersebut dapat dikatakan memiliki validitas bandingan. Prosedur untuk
memperoleh validitas bandingan sama dengan langkah-langkah yang ditempuh dalam
memperoleh validitas ramalan.
Analisis validitas
bandingan dapat diilustrasikan sbb:
2. Reliabilitas
Reliabilitas tes menunjukkan tingkat keajegan suatu
tes, yaitu sejauh mana tes tersebut dapat dipercaya untuk menghasilkan skor
yang ajeg. Kecermatan hasil pengukuran ditentukan oleh banyaknyainformasi yang
dihasilkan dan sangat berkaitan dengan satuan ukuran dan jarak rentang (range)
dari skala yang digunakan. Dlam mengukur berat sebuah cincin emas, pengukuran
dengan timbangan yang bersatuan milligram dan berjarak rentang antar 0 -
1000mg, tentu akan menghasilkan ukuran yang lebih teliti daripada menggunakan
timbangan dengan satuan kilogram dengan berjarak rentang 0 – 100 kg. begitu
pula dengan tes prestasi belajar. Sebuah tes dengan jumlah soal yang banyak dan
seluruh soalnya bertaraf kesukaran sedang (on target) bagi orang
yang menempuh, tentu akan menghasilkan informasiyang lebih teliti mengenai
orang yang diukur, jika dibandigkan dengan tes yang soalnya sedikit dan tingkat
kesukarannya rendah (off target). Dengan kata lain, soal – soal
sebuah tes jangan terlalu dibawah atau diatas kemampuan tingkat pembelajaran
siswa, dan tingkat kesukaran butir soalnya harus relative homogen.
Menurut balitbangdikbud, mengenai keajegan (consistency)
dari skor suatu tes, dapat dibedakan menjadi keajegan internal dan keajegan eksternal.
Keajegan internal adalah sejauh mana butir – butir soal sebuah tes itu homogeny
baik dari segi tingkatr kesukaran maupun dari segi bentuk soal/prosedur
menjawabnya. Jadi tingkat kesukaran soal harus sesuai dengan tingkat kemampuan
siswa. Tingkat keterhandalan skor dalam tes berarti (1) homogenitas butir soal,
dan kehandlan butir – butir soal dalam mengungkap perbedaan kemampuan yang
terdapat di kalangan siswa[6].
Keajegan eksternal adalah sejauhmana skor yang
dihasilkan dari tes tersebut kepada sekelompok orang akan tetap sama sepanjang
orang tersebut belum berubah. Hal ini dapat diuji dengan indeks korelasi dari
tes re – tes atau dengan parallel form
Teknik pengujian reliabilitas suatu instrument dapat
dilakukan dengan beberapa cara/teknik. Setiap teknik/cara akan menghasilkan
jenis reliabilitas yang berbeda.
Di muka sudah dikatakan bahwa reliabilitas merujuk
kepada keajegan suatu tes dalam menghasilkan skor yang relative konsisten. Ini
berarti bhwa tes yang reliable akan mampu memberikan skor yang relative konstan
walaupun dibrikan pada situasi yang berbeda – beda. Ada tiga cara untuk
menetahui reliabilitas, yang prinsipnya adalah menghitung indeks korelasi. Tiga
cara tersebut adalah[7]
:
·
Metode tes ulang (tes
– retest method)
·
Metode tes parallel (parallel
test method)
·
Tekhnik belah dua (split
– half method)
3. Daya
pembeda ( discriminating power/ discriminating index)
Soal – soal dari suatu tes yang baik akan mampu
membedakan antara testi yang benar – benar mampu dengan testi yang kuarang
mampu, antara testu yang benar – benar belajar dengan testi yang tidak belajar.
Secara empiric hal ini akan ditunjukkan dengan adanya perbedaan skor/hasil yang
diperoleh oleh orang yang termasuk kelompok unggul dengan skor yang diperoleh
oleh orang dari kelompok asor. Jadi orang – orang dari kelompok unggul akan
lebih banyak benar dibandingkan dengan orang dari kelompok asor.
4. Tingkat
kesukaran (difficulty index)
Soal – soal suatu tes yng baik akan memiliki tingkat
kesulitan yang seimbang. Seimbang di sini berarti berkenaan dengan proporsi
penyebaran soal mudah, sedang, dan sukare. Proporsinya bias 20% mudah,
60%sedang, dan 20%sukar, atau komposisi yang lain (1:2:1). Soal yang mudah
diperlukan untuk memberikan motivasi kerja, sedangkan soal yang sukar
diperlukan untuk seleksi.
- Konstruksi Instrument
Suatu instrument dibangun atau dikembangkan atas
dasar konstruksi tertentu. Konstruksi tersebut biasanya dikembangkan atau
diturunkan dari teori tertentu. Misalnya kita akan mengembangkan alat ukur
(instrument) untuk mengukur tingkat intelegensi seseorang. Langkah umum yang
harus ditempuh adalah:[8]
1. Menetapkan
landasan teori atau konstruk yang dikembangkan
2. Memikirkan
alat ukur model apa yang akan dikembangkan, akan menggunakan instrument tes
atau nontes. Kalau non tes, akan model apa yang digunakan, post choice atau
skala.
3. Mengembangkan
lay – out (kisi – kisi)
Dalam menentukan atau mempertimbangkan model
instrument mana yang akan digunakan ( tes atau nontes) dan bagaimana cara
pengumpulan data itu akan dilakukan, biasanya diawali dengan mempertimbangkan.
- Untuk apa data itu diperlukan (untuk tujuan apa), dan
- Jenis data apa (data yang bagaimana) yang diperlukan.
Setelah kedua hal itu terumuskan secara umum langkah
atau prosedur yang harus ditempuh dalam mengembangkan instrument pengumpul data
(baik tes maupun nontes) adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan
kisi –kisi pengembangan instrument
2. Menentukan
format instrument yang digunakan
3. Mengembangkan
konstruk instrument
4. Menulis
atau merumuskan item – item sesuai dengan format yang dipilih
5. Mengkaji
ulang rumusan item – item instrument oleh staf lain (judgment)
6. Merevisi
item – item instrument berdasarkan hasil judgment
7. Menggandakan
instrument
8. Ke
lapangan (pengumpulan data)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Instrument dalam bimbingan konseling adalah alat
untuk mengumpulkan data – data tentang klien, sehingga dengan adanya data yang
akurat tersebut maka pemberian bimbingan dapat dilaukan secara efektif. Data
yang akurat tersebut hanya akan dapat dikumpulkan dengan alat instrument yang
tepat pula.
Data dalam proses bimbingan dan konseling dibedakan
menjadi dua macam, yaitu data psikologis dan nonpsikologis, untuk mengungkap
atau mengumpulkan kedua jenis data tersebut dapat dilakukan dengan dua
pendekatan besar, yaitu pendekatan instrument tes dan non tes.
Tes merupakan himpunan pertanyaan yang harus
dijawab, atau pertanyaan – pertanyaan yang harus ditanggapi dengan tujuan untuk
mengukur suatu aspek perilaku atau memperoleh informasi tertentu. Sedangkan non
tes adalah kumpulan pertanyaan yang hasilnya tidak dinilai benar dan salah
tetapi lebih kepada pengungkapan psikomotorik saja.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan did lam
mutu instrument yaitu: validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat
kesukaran. Berikutnya adlah konstruksi instrument yang dikembangkan atas dasr
teori tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Birdie,
Ralph F , Counseling and The Use of Test, A Manual
for The State Wide Testing Programs of
Minnesota, (New York,
Associations of Minnesota College and The Student Counseling Bureau:
1979).
Furqon
dan Yaya Sunarya, Pengembangan Instrument Asesmen Perkembangan
Siswa, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2010)
Depdiknas,
Pedoman Pengembangan Instrument dan Penilaian
Ranah Afektif. (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama, 2004)
Depdiknas,
Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling,
(Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama,
2004)
Depdiknas,
Kurikulum Berbasis Kompetensi: Penilaian Kelas,
(Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2002)
Depdiknas,
Pedoman Diagnostic Potensi Perkembangan Peserta
Didik, (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama, 2004)
Natawidjaya,
R, Proses Penyusunan Skala
Sikap, (Bandung: IKIP, 1985)
[1] Ralph
F Birdie, Counseling and The Use of Test,
A Manual for The State Wide Testing Programs
of Minnesota, (New York,
Associations of Minnesota College and The Student Counseling Bureau:
1979). Hlm 78
[2] Furqon dan Yaya Sunarya, Pengembangan
Instrument Asesmen Perkembangan Siswa, (Bandung: PT
Raja Grafindo Persada, 2010). Hlm .200.
[4] Depdiknas,
Pedoman Pengembangan Instrument dan Penilaian
Ranah Afektif. (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama, 2004) hlm 98.
[5] Depdiknas,
Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling,
(Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama,
2004) hlm 156.
[6] Depdiknas,
Kurikulum Berbasis Kompetensi: Penilaian Kelas,
(Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2002) hlm 225.
[7] Depdiknas,
Pedoman Diagnostic Potensi Perkembangan Peserta
Didik, (Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama, 2004) hlm 135.
[8] R Natawidjaya, Proses
Penyusunan Skala Sikap, (Bandung: IKIP, 1985) hlm 145.
No comments:
Post a Comment