Maestro BK Indonesia

Maestro BK Indonesia
Prof. Dr. Prayitno, M.Sc.Ed, beliau merupakan maestro BK Indonesia. Beliau menghibahkan seluruh hidupnya untuk kemajuan BK, sehingga dapat kita nikmati dan tekuni ilmunya sampai saat ini.

Friday, June 22, 2012

SEBENTAR LAGI DAN TAK LAMA LAGI




Hari – hari berlalu begitu cepat, tak terasa sebentar lagi? Ya, itulah kata yang patut harus diingat oleh setiap hamba. Sebentar lagi bukanlah lama lagi. Sebentar lagi wisuda, sebentar lagi bekerja, sebentar lagi menikah, sebentar lagi punya keluarga, sebentar lagi jadi orang sukses, dan yang paling terakhir yang pasti akan kita hadapi adalah sebentar lagi kita akan menutup mata untuk selama – lamanya, kembali ke pangkuan Ilahi.
            Sederhananyalah sebenarnya hidup ini diantara adzan dan sholat. Ketika kita lahir di adzankan oleh ayah, ketika meninggal kita disholatkan, itupun kalau ada orang yang mau menyolatkan kita. Tergantung kepada kita lah ingin menorehkan tinta apa buat hidup kita ini, maka pada akhirnya bukanlah mulut kita yang berbicara hasil tulisan kita itulah yang akan dibaca oleh orang lain dan Allah swt tentunya.
            Maknai lah hidup yang sederhana ini dengan luar biasa dan sebaik mungkin, tetaplah menjadi yang terbaik, bahagiakan diri dan keluarga bersama memberi inspirasi dan kebahagiaan buat orang lain.
Inspirasi pada 24 mei 2012 ,kamis pkl 08.30 wib.

Monday, June 18, 2012

sejarah perkembangan psikologi agama


SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA
            Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama- agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ryuang lingkup kajian psikologi agama banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
            Berdasarkan sumber Barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi agama mulai popular sekitar abad ke 19 . Sekitar masa itu psikolohi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. KJajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir dan mengemukakan perasaan keagamaan.
Karena itu, untuk menentukan dengan pasti kapan agama itu mulai diteliti secara psikologis agak sukar, barangkali tidak mungkin. Karena dalam agama itu sendiri sudah terkandung ilmu jiwa bahkan sebagian besar dari ajaran agama merupakan bimbingan yang tidak dapat dilepaskan dari kejiwaan.
Dapat dikatakan bahwa yang mula-mula berani mengemukakan hasil penelitiannya secara ilmiah tentang agama adalah adalah Frazer dan Taylor. Mereka membentangkan bermacam-macam agama primitif dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk ibadah pada agam Kristen dan ibadah-ibadah orang-orang primitif, seperti pengorbanan karena dosa warisan, hari kebangkitan dan sebagainya. Hhasil penelitian ini membangkitkan perhatian para ahli untuk memandang agama sebagai suatu aspek kehidupan manusia yang dapat diteliti dan dipelajari seperti aspek-aspek lainnya dalam kehidupan manusia.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa ahli yang mempunyai peranan penting dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan psikologi agama:
1.      Edwin Diller Starbuck
Dapat dikatakan bahwa gerakan baru terhadap penelitian ilmiah dalam bidang Ilmu Jiwa Agama dimulai dengan tegas pada tahun 1899 yaitu dengan keluarnya buku Starbuck pada tahun 1988 yang berjudul “The psychology of Religion, an Empirical Study of the Growth of Religious Consciousness” buku yang mengupas pertumbuhan perasaan agama pada seseorang.
Starbuck merupakan murid dari William James, akan tetapi ilmunya tentang Ilmu Jiwa Agama melampaui gurunya. Sehingga dapat dikatakan perhatian James timbul dan berkembang karena hasil karya muridnya.
2.      George Albert Coe
Dia menggunakan hypotis dalam usahanya untuk mencari hubungan antara reaksi-reaksi agamis dengan watak (temperamen). Bukunya terbit pada tahun 1900 dengan judul “The Spiritual Live”. Dalam bukunya ia menekankan tentang konversi. 
3.      James H Leuba
Ia termasuk orang yang pertama kali meneliti agama dari segi ilmu jiwa. Ia mempunyai pandangan objektif, sehingga ia berusaha keras untuk menjauhkan ilmu jiwa agama dari unsur-unsur kepercayaan. Ia berpendapat bahwa tidak ada gunanya mendefinisikan agama, karena itu hanya merupakan kepandaian orang bersilat lidah.
Pendapatnya pernah dimuat di dalam The Monist vol. XI Januari 1901 dengan judul “Introduction to a Psychological Study of Religion”. Kemudian pada tahu 1912 diterbitkannya buku dengan judul “A Psychological Study of Religion”.  
4.      Stanley Hall
Stanley hall juga menggunakan cara-cara yang sama dengan Leuba dalam menerangkan fakta-fakta agamis, yaitu dengan tafsiran materaialistis. Dalam penelitiannya terhadap remaja-remaja pada tahun 1904, ditemukan persesuaian antara pertumbuhan jiwa agama pada tiap individu, dengan pertumbuhan emosi dan kecenderungan terhadap jenis lain. Maka umur dimana jiwa mulai terbuka untuk cinta, maka pada umur itu pulalah timbul perasaan-perasaan agama yang ekstrim. Pendapat-pendapatnya tersebut terdapat dalam bukunya “Adolescence”, vol II ch. XIV dan “Jesus the Christ”, 1917. 
5.      William James
Karyanya dalam ilmu jiwa agama adalah “The Varieties of Religion Experience”. Karya nya tersebut memberikan semangat banyak ahli dalam mengadakan penelitian-penelitian di bidang ilmu jiwa agama. Pada tahun 1904 mulai terbit majalah “The Journal of Religious Psychology” dan The American Journal of Religious Psychology and Education” yang berlangsung sampai tahun 1915.
James berpendapat bahwa seorang ahli jiwa akan dapat meneliti dorongan-dorongan agama pada seseorang seperti mempelajari dorongan-dorongan jiwa lainnya dalam konstruksi pribadi orang tersebut. Hanya saja James menghidangkan bahan-bahan ilmiah yang berharga itu, sekedar bersifat deskriptif saja.  
6.      George M. Stratton
Pada tahun 1911 terbit buku “Psychology of Religious Life” yang ditulis oleh George M. Stratton. Pendapat yang dikemukakannya cukup menarik perhatian, dimana ia berpendapat bahwa sumber agama adalah konflik jiwa dalam diri individu.
7.      Fluornoy
Pada tahun 1901 Fluornoy berusaha mengumpulkan semua penelitian psikologis yang pernah dilakukan terhadap agama, sehingga dapat disimpulkannya cara-cara dan metode yang harus digunakan dalam meneliti fakta-fakta tersebut. Diantara prinsip-prinsip yang harus digunakan tersebut adalah:
a.      Menjauhkan penelitian dari Transcendance
b.      Prinsip mempelajari perkembangan
c.       Prinsip perbandingan
d.      Prinsip dinamika  
8.      James B. Pratt
James B Pratt menerbitkan bukunya “The Religious Consciousness” pada tahun 1920. Walaupun sebenarnya ia adalah guru besar dalam ilmu filsafat.  
9.      Rudolf Otto
Di Jerman terbit pula buku “Das Heilige” oleh Rudolf Otto yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1923. Yang terpenting dalam buku itu adalah pengalaman-pengalaman psikologis dari pengertian kesucian, yang diambilnya sebagai pokok dalam hal ini adalah sembahyang. Buku yang cukup menarik untuk zamannya.  
10.  Pierre Bovet
Pada tahun 1918 ia adalah mahasiswa di Akademi “J.J Rousseou”, bahwa ia mengadakan penelitian terhadap dokumen-dokumen yang ada padanya sehingga hasilnya dikumpulkan dalam suatu buku yang berjudul “Le Sentiment Religieux et la Psychologie de L’Enfart”.
            Di tanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama ini baru dikenal sekitar tahun 1970 an yaitu oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk kepentingan. Buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Diluar itu, kuliah mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, khususnya di fakultas tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr . Zakiah Daradjat sendiri. Kedua orang ini dikenal sebagai pelopor pengembangan psikologi agama di IAIN di Indonesia.
            Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini antara lain disebabkan, selain bidang kajian psikologi agama menyangkut kehidupan manusia secara pribadi, maupun kelompok, bidang kajiannya juga mencakaup permasalahan yang menyangkut perkembangan usia manusia.
            Tampaknya, para ilmuwan dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai psikologi agama, kini seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam kehidupan modern ini, peran agama menjadi kian penting. Dan pendekatan psikologi agama dapat diguanakan dalam bentuk memecahkan berbagai problema – problema kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai – nilai peradaban dan nilai moral.

penyesuaian diri pada tahap perkembangan


Penyesuaian Diri Pada Tahap Perkembangan

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
 RIZKY ANDANA POHAN
NURUL HUDA
DIKA SYAHPUTRA
                                                                           AISYAH HUTAPEA                
LILIS SUNDARI
DOSEN PEMBIMBING: ZAINUN, MA

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH IAIN
MEDAN
2011
KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami haturkan kepada Allah, karena berkat rahmat dan hidayah Nya lah maka kami dapat menyelesaikan makalah kami ini, yang merupakan tugas kelompok dalam mata kuliah kesehatan mental di Fakultas Dakwah IAIN SU.
            Ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan kepada bapak dosen pembimbing, serta seluruh pihak yang telah membantu baik moral maupun moril dalam persiapan makalah ini.
            Kami juga mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun dari pembaca, agar menjadi perbaikan bagi kami dalam pembuatan makalah – makalah selanjutnya.



Medan, Juni 2011

Penulis




i
 
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................. ii
BAB I
Pendahuluan........................................................................................................ 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep penyesuaian diri pada tahap perkembangan...................................... 5
B. Faktor – faktor yang mempengaruhi pada tahap perkembangan.................... 9
BAB III
PENUTUP
·         Kesimpulan............................................................................................ 14
Daftar Pustaka................................................................................................... 15










ii
 
BAB I
PENDAHULUAN
Penyesuaian diri merupakan suatu usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Proses penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses sepanjang hayat (lifelong process) dan manusia terus-menerus berupaya menemukan dan mengatasi tekanan dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat. Respons penyesuain baik atau buruk, secar sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara kondisi-kondisi keseimbangan yang lebih wajar.
Karakteristik penyesuaian diri terbagi atas 2 macam, yaitu karakteristik penyesuaian diri secara positif dan karakteristik penyesuaian diri yang salah. Dimana pada penyesuaian diri positif yaitu individu melakukan hal-hal yang dapat membawa dampak baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sedangkan penyesuaian diri yang salah adalah individu melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri pada tahap perkembangan  meliputi kondisi-kondisi fisik (keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar dan sistem otot, kesehatan, penyakit, dan lain-lain). Perkembangan dan kematangan (khususnya kematangan intelektual sosial, moral, dan emosional) penentu psikologis (pengalaman, belajar, pengkondisian, penentu diri / self-determination, frustasi dan konflik), kondisi lingkungan (keluarga dan sekolah) dan penentu kultural (agama). Pemahaman tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri dan bagaimana fungsinya dalam penyesuaian merupakan syarat untuk memahami proses penyesuaian, kaena penyesuaian tumbuh dari hubungan-hubungan antara faktor-faktor tersebut dan tuntutan individu.
Persoalan-persoalan umum yang seringkali dihadapi remaja antara lain memilih sekolah, yang mana penyesuaian diri yang mungkin timbul adalah penyesuaian diri yang berkaitan dengan kebiasaan belajar yang baik. Bagi siswa yang baru masuk sekolah lanjutan mungkin mengalami kesulitan dan membagi waktu belajar, yakni adanya pertentangan antara belajar dan keinginan untuk ikut aktif dalam kegiatan sosial, dan kegiatan ekstrakurikuler. Implikasi proses penyesuaian remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan seperti lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja.
Penyesuaian diri remaja sangat ditentukan oleh peran serta orang tua dalam membimbing dan mengarahkan hal yang lebih baik, untuk itu perlu kesadaran orang tua dalam membimbing anak serta harus dapat menjaga anak dari kecaman lingkungan yang dapat mempengaruhi anak, serta juga peran masyarakat yang sangat menunjang kelancaran atau terciptanya masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera jauh dari lingkungan yang memiliki suatu hal yang dapat berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Penyesuaian Diri Pada Tahap Perkembangan

Makna akhir dari hasil pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal yang telah dipelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Sejak lahir sampai meninggal seorang individu merupakan organisme yang aktif dengan tujuan aktivitas yang berkesinambungan. Ia berusaha untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya dan juga semua dorongan yang memberi peluang kepadanya untuk berfungsi sebagai anggota kelompoknya, penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Pada waktu remaja bertambah dewasa, tampak bahwa pengetahuan mereka bertambah dan mereka dan mereka mengetahui bahwa hidup merka terpengaruh oleh sumber- sumber peristiwa serta pemikiran merka meninkat menjadi dewasa tentang persoalan umat dan negara.[1]
1.      Konsep penyesuaian diri
Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai adaptasi dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial. Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip. Penyesuaian sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respons-respons sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara efisien.
2.      Proses penyesuaian diri
Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan. Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian yang sempurna tidak pernah tercapai. Penyesuaian yang terjadi jika manusia/individu selalu dalam keadaan seimbang antara dirnya dengan lingkungannya dimana tidak ada lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan dimana semua fungsi organisme/individu berjalan normal. Sekali lagi, bahwa penyesuaian yang sempurna itu tidak pernah dapat dicapai. Karena itu penyesuaian diri lebih bersifat sutau proses sepanjang hayat (lifelong process), dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat.
Pemenuhan kebutuhan pada manusia adalah syarat utama dari penyesuaian diri yang memberikan manusia kemantapan jiwa.[2]
3.      Karakteristik penyesuaian diri
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karen kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin diluar dirinya. Dalam hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut ada individu-individu yang dapat melakukan penyesuaian diri secara positif, namun adapula individu-individu yang melakukan penyesuaian diri yang salah. Berikut ini akan ditinjau karakteristik penyesuaian diri yang positif dan penyesuaian diri yang salah.
1.      Penyesuaian diri secara positif
Mereka yang tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut :
1.      Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional,
2.      Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis,
3.      Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi,
4.      Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri,
5.      Mampu dalam belajar,
6.      Menghargai pengalaman,
7.      Bersikap realistik dan objektif.
Melakukan penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukan dalam berbagai bentuk, antara lain:
1.      Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung,
2.      Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan),
3.      Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba,
4.      Penyesuaian dengan substansi (mencari pengganti),
5.      Penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri,
6.      Penyesuaian dengan belajar,
7.      Penyesuaian dengan inhibis dan pengendalian diri,
8.      Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat.
2.      Penyesuaian diri yang salah
Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu:[3]
1.      Reaksi bertahan
Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan, ia selalu berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
§  Rasionalisasi,
§  Represi,
§  Proyeksi,
2.      Reaksi menyerang
Reaksi-reaksinya tampak dalam tingkah laku:
§  Selalu membenarkan diri sendiri,
§  Mau berkuasa dalam setiap situasi,
§  Bersikap senang mengganggu orang lain,
§  Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan,
§  Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka,
§  Menunjukkan sikap menyerang dan merusak,
§  Keras kepala dalam perbuatannya,
§  Bersikap balas dendam,
§  Memperkosa hak orang lain,
§  Tindakan yang serampangan,
§  Marah secara sadis.
3.      Reaksi melarikan diri
Reaksi ini orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalan, reaksinya tampak dalam tingkah laku sebagai berikut : berfantasi yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan (seolah-olah sudah tercapai), banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika dan regresi, yaitu kembali kepada tingkah laku yang semodel dengan tingkat perkembangan yang lebih awal (misal orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil).
4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu primer terhadap penyesuaian diri. Penentu berarti faktor yang mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada proses penyesuaian. Secara sekunder proses penyesuaian ditentukan oleh faktor-faktor yang menentukan kepribadian itu sendiri baik internal maupun eksternal. Penentu penyesuaian identik dengan faktor-faktor yang mengatur perkembangan dan terbentuknya pribadi secara bertahap.[4]
Penentu-penentu itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
§  Kondisi-kondisi fisik, termasuk didalamnya keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar, dan sistem otot, kesehatan, dan penyakit,
§  Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional,
§  Penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajarnya, pengkondisian, penentu diri (self-determination), frustrasi, dan konflik,
§  Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah.
§  Penentu kultural, termasuk agama.
Pemahaman tentang faktor-faktor ini dan bagaimana fungsinya dalam penyesuaian merupakan syarat untuk memahami proses penyesuaian, karena penyesuaian tumbuh dari hubungan-hubungan antara faktor-faktor ini dan tuntutan individu.
B. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pada Tahap Perkembangan
1.      Kondisi jasmaniah
Kondisi jasmaniah seperti pembawa dan strukrur / konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkembanganya secara intrinsik berkaitan erat dengan susunan atau konstitusi tubuh. Shekdon mengemukakan bahwa terdapat kolerasi yang tinggi antara tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-tipe tempramen. Misalnya orang yang tergolong ekstomorf yaitu yang ototnya lemah, tubuhnya rapuh, ditandai dengan sifat-sifat menahan diri, segan dalam aktivitas sosial, dan pemilu.
2.      Perkembangan, kematangan, dan penyesuaian diri
Respons anak pada proses perkembangan, berkembang dari respons yang bersifat instinkif menjadi respons yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman. Dengan bertambahnya usia perubahan dan perkembangan respons, tidak hanya melalui proses belajar saja melainkan anak juga menjadi matang untuk melakukan respons dan ini menentukan pola-pola penyesuaian dirinya. Sesuai dengan hukum perkembangan, tingkat kematangan berbeda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga pencapaian pola-pola penyesuaian diri pun berbeda pula secara individual. Dengan kata lain, pola penyesuaian diri akan bervariasi susuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya dalam fase tertentu salah satu aspek mungkin lebih penting dari aspek lainnya. Misalnya pertumbuhan moral lebih penting dari pada kematangan sosial, dan kematangan emosional merupakan yang terpenting dalam penyesuaian diri.
3.      Penentu psikologis pada penyesuaian diri
Banyak sekali faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuai diri, diantaranya adalah pengalaman, belajar, kebutuhan-kebutuhan, determinasi diri, dan frustrasi.[5]
1.      Pengalaman
Tidak semua pengalaman mempunyai arti bagi penyesuaian diri. Pengalaman-pengalaman tertentu yang memiliki arti dalam penyesuaian diri adalah pengalaman menyenangkan dan pengalaman traumatik (menyusahkan). Pengalaman yang menyenangkan misalnya mendapatkan hadiah dalam satu kegiatan, cenderung akan menimbulkan proses penyesuaian diri yang baik, dan sebaliknya pengalaman traumatik akan menimbulkan penyesuaian yang kurang baik atau mungkin salah suai.
2.      Determinasi diri
Determinasi ini mempunyai peranan penting dalam proses penyesuaian diri karena mempunyai peranan dalam pengendalian arah dan pola penyesuaian diri. Keberhasilan atau kegagalan penyesuaian diri akan banyak ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengarahkan dan mengendalikan dirinya. Meskipun sebetulnya situasi dan kondisi tidak menguntungkan bagi penyesuaian dirinya.
3.      Konflik dan penyesuaian
Tanpa memperhatikan tipe-tipe konflik, mekanisme konflik secara esensial sama yaitu pertentangan antara motif-motif. Efek konflik pada prilaku akan bergantung sebagian ada sifat konflik itu sendiri. Ada beberapa pandangan bahwa bahwa semua konflik bersifat menggangu atau merugikan. Namun dalam kenyataan ada juga seseorang yang mempunyai banyak konflik tanpa hasil-hasil yang merusak atau merugikan. Sebenarnya ada beberapa konflik dapat bermanfaat memotivasi seseorang untuk meningkatkan kegiatan. Cara seseorang mengatasi konfliknya dengan meningkatkan usaha kearah pencapaian tujuan yang menguntungkan secara sosial. Atau mungkin sebalikuya ia memecahkan konflik dengan melarikan diri, khususnya ke dalam gejala-gejala neurotis.
4.      Lingkungan sebagai penentu penyesuaian diri
Berbagai lingkungan anak seperti keluarga dan pola hubungan didalamnya, sekolah, masyarakat, kultur, dan agama berpengaruh terhadap penyesuaian diri anak.
1.      Pengaruh rumah dan keluarga
Dari sekian banyak faktor yang mengkondisikan penyesuaian diri. Faktor rumah dan keluarga merupakan faktor yang sangat penting. Kerena keluarga merupakan satuan kelompok sosial terkecil. Interaksi sosial yang pertama diperoleh individu adalah dalam keluarga. Kemampuan interaksi sosial ini kemudian akan dikembangkan di masyarakat.
2.      Hubungan orang tua dan anak
Pola hubungan antara orang tua dengan anak akan berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri anak-anak. Beberapa pola hubungan yang dapat dipengaruhi penyesuai diri antara lain :
1.      Menerima (acceptance),
2.      Menghukum dan disiplin yang berlebihan,
3.      Memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan.
4.      Penolakan.
5.      Hubungan saudara
Suasana hubungan saudara yang penuh persahabatan, kooperatif, saling menghormati, penuh kasih sayang, mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk tercapainya penyesuaian yang lebih baik, sebaliknya suasana permusuhan, perselisihan, iri hati, kebencian, dan sebagainya dapat menimbulkan kesulitan dan kegagalan penyesuaian diri.[6]
5.      Kultur dan agama sebagai penentu penyesuaian diri
Proses penyesuaian diri anak mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh faktor-faktor kultur dan agama. Lingkungan kultur dimana individu berada dan berinteraksi akan menetukan pola-pola penyesuaian dirinya. Contohnya tata cara kehidupan disekolah, dimesjid, gereja, dan semacamnya akan mempengaruhi bagaimana anak menempatkan diri dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
Aktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dan pendidikan yang kita terima pada masa kanak – kanak, berbagai pendapat dan siakp orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi di masa lampau.[7]
Agama memberikan suasana psikologis tentu dalam mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan lainya. Agama juga memberikan suasana damai dan tenang bagi anak. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan kesetabilan hidup umat manusia. Di dalam agama terdapat ajaran tentan bagaimana agar manusia mau meneima petunjuk Tuhan Nya, sehingga manusia itu sendiri tanpa paksaan bersedia menjadi  hambanya yang baik dan taat. Itula sebabnya dapa dikatakan bahwa di dalam agama itu , penuh dengan unsur – unsu pedagogis yang bahkan merupakan esensi pokok dari tujuan agama diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia.[8]
6.      Permasalahan-permasalahan penyesuaian diri remaja
Di antara persoalan terpentingnya yang dihadapi remaja dalam kehidupan sehari-hari dan yang menghambat penyesuaian diri yang sehat adalah hubungan remaja dengan orang dewasa terutama orang tua. Tingkat penyesuaian diri dan pertumbuhan remaja sangat tergantung pada sikap orang tua dan suasana psikologis dan sosial dalam keluarga. Contoh : Sikap orang tua yang menolak. Penolakan orangtua terhadap anaknya dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, penolakan mungkin merupakan penolakan tetap sejak awal, dimana orang tua merasa tidak senang kepada anaknya, karena berbagai sebab, mereka tidak menghadaki kehadirinya.
Sikap orang tua yang otoriter, yaitu yang memaksakan kekuasaan dan otoritas kepada remaja juga akan menghambat prosedur penyesuaian diri remaja. Biasanya remaja berusaha untuk menentang kekuasaan orang tua dan pada gilirannya ia akan cenderung otoriter terhadap teman-temanya dan cenderung menentang otoritas yang ada baik di sekolah maupun di masyarakat.
Permasalahan-permasalahan penyesuaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari suasana psikologis keluarga seperti keretakan keluarga. Banyak penelitian membuktikan bahwa remaja yang hidup didalam rumah tangga yang retak, mengalami masalah emosi. Tampak padanya ada kecendrungan yang besar untuk marah, suka menyindir, disamping kurang kepekaan terhadap penerimaan sosial dan kurang mampu menahan diri serta lebih gelisah dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam rumah tangga yang wajar.

PENUTUP
Kesimpulan
          Penyesuaian diri adalah merupakan hal yang sangat esensi dalam perkembangan kepribadian, ketika seseorang mampu untuk menyesuaikan dirinya dengan secara baik dapat dipastiakan bahwa dalam proses sosial nya ia dapat berinteraksi dengan baik terhadap lingkungannya, sebaliknya jika penyesuaian diri pada tahap perkembangan gagal maka dalam eksistensinya di lingkungan pribadi itu akan banyak mengalami kendala.
            Oleh karena itu banyak faktor yang mempengaryhi proses penyesuain diri pada tahap perkembangan seperti kondisi jasmaniah, kultur keagamaan, linkungan baik keluarga maupun masyarakat.
            Dalam makalah ini banyak terdapat masalah – masalah penyesuaian remaja, sehingga diharapkan remaja dalam tahap perkembangannya tidak lagi mengalami kendala dan menghasilkan hasil yang negatif pada tahap perkembangan.








DAFTAR PUSTAKA

·         Mulyani, S.. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka, 2008
·         Poerwati, E., dan Nurwidodo.. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2000
·         Hartono, A., dan Sunarno.. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta, 1995
·         Salahudin, Anas, Bimbingan & Konseling, Bandung:Pustaka Setia, 2010
·         Ahmadi, Abu, Psikologi Umum, Semarang: Rineka Cipta, 1991
·         Remmers, Let’s listen to youth, Jakarta : Bulan Bintang, 1983
·         Robert H, Thouless, Pengantar psikologi Agama,Jakarta:Raja grafindo persada,1992




[1] H.H Remmers & C.G. Hacket, Let’s listen to youth,(Jakarta:bulan bintang,1984) hlm 60
[2] Fahmy, mustofa, penyesuaian diri “pengertian dan peranannya dalam kesehatan mental,(jakarta,bulan bintang:1982) hl 48
[3] Hartono, A., dan Sunanro. . Perkembangan Peserta Didik.( Jakarta: Rineka Cipta.,1995) hlm 78
[4] Mulyani, S. . Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka,2002) hlm 56
[5] Anas Salahudin, Bimbingan & konseling (Bandung:pustaka setia, 2010) hlm 65
[6] Poerwati, E., dan Nurwidodo. Perkembangan Peserta Didik. (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang,2000) hlm 78

[7] Robert H. Thouless, Pengantar psikologi Agama,(Jakarta:Raja grafindo persada,1992) hlm 129
[8] Abu Ahmadi, Psikologi umum, (Semarang:Rineka cipta, 1991) hlm. 29